Lihat bagaimana bisnis lain berhasil membangun brand identity profesional dengan Genesa
Bu Rina sudah menjual kripik pisang selama 3 tahun, tapi produknya hanya dikenal di warung sekitar rumah. Harganya murah, kemasannya pakai plastik polos, dan tidak ada identitas yang jelas. Pelanggan menganggapnya sebagai jajanan biasa, bukan produk berkualitas.
Pak Agus punya warung makan yang sudah berjalan 10 tahun. Masakannya enak, harganya terjangkau, tapi menu-nya masih ditulis tangan di kertas yang sudah lusuh. Font-nya kecil, tidak rapi, dan kadang sulit dibaca. Pelanggan sering bertanya, "Pak, ini harganya berapa?" karena tidak bisa membaca dengan jelas.
Ibu Sari menjual baju secara online melalui Instagram. Awalnya, setiap postingan menggunakan warna yang berbeda-beda. Ada yang merah, biru, hijau, tanpa ada konsistensi. Hasilnya? Engagement rendah dan follower tidak bertambah.
Pak Budi punya bengkel motor yang sudah berjalan 8 tahun. Pekerjaannya bagus, tapi website-nya sepi. Hanya ada halaman utama dengan informasi dasar. Tidak ada konten yang menarik, tidak ada artikel yang bermanfaat. Traffic website hanya 50 visitor per bulan.
Pak Rizki sudah jadi tukang service AC selama 5 tahun. Pekerjaannya bagus, tapi dia kesulitan dapat klien baru. Setiap kali dia memberikan kartu nama, klien bilang, "Nanti saya hubungi ya, Pak." Tapi jarang ada yang benar-benar menghubungi.
Pak Andi punya kedai kopi kecil di pinggir jalan. Awalnya, dia hanya posting foto kopi di Instagram. Engagement-nya biasa-biasa saja, follower tidak bertambah banyak. Rata-rata hanya dapat 20-30 likes per posting.
Ibu Dewi jual kue kering dari rumah, biasanya pesanan lewat WhatsApp. Awalnya, kue-kue-nya dikemas dalam plastik biasa tanpa identitas. Harganya murah—hanya Rp 25,000 per toples—karena dianggap produk rumahan biasa.
Pak Joko punya toko sembako yang sudah 15 tahun. Tapi tidak ada logo, tidak ada identitas yang jelas. Spanduk toko sudah lusuh dan tidak menarik. Pelanggan setia tahu toko Pak Joko, tapi pelanggan baru sering ragu masuk karena toko terlihat tidak profesional.
Ibu Linda punya jasa laundry yang baru buka. Awalnya, tidak ada identitas yang jelas. Banner sederhana, tidak ada logo, dan social media tidak konsisten. Pelanggan pertama datang karena lokasi strategis, tapi tidak ada yang kembali.
Ibu Maya punya toko kue dan roti yang sudah 5 tahun. Tapi brand identity tidak jelas. Logo tidak konsisten—kadang pakai logo A, kadang pakai logo B—warna berbeda-beda, dan konten social media tidak menarik. Engagement Instagram hanya 2-3% dari followers.
Startup fintech baru yang ingin membangun brand identity profesional dengan budget terbatas. Sebagai startup, mereka tidak punya budget besar untuk hire agency yang biasanya charge Rp 5-15 juta untuk complete branding package.
Startup edtech yang ingin membangun brand identity yang menarik untuk target market pelajar dan mahasiswa. Mereka butuh brand yang modern, engaging, dan mudah dikenali. Tapi sebagai startup, budget terbatas.
Perusahaan konsultan yang sudah berjalan 5 tahun ingin memperbarui brand identity untuk terlihat lebih modern dan profesional. Brand lama terlihat ketinggalan zaman. Logo masih pakai style 2018, warna sudah tidak relevan.
Perusahaan properti yang ingin membangun brand yang memukau untuk menarik buyer. Di industri properti, brand yang menarik sangat penting untuk menarik perhatian buyer. Tapi biaya branding premium biasanya sangat mahal.
Perusahaan manufaktur yang ingin membangun brand B2B yang profesional. Di industri B2B, brand yang profesional sangat penting untuk menarik partner dan klien. Tapi perusahaan ini belum punya brand identity yang jelas.
Pak Dedi adalah freelancer designer yang sudah 3 tahun bekerja sendiri. Portfolio-nya bagus, tapi personal brand-nya tidak konsisten. Setiap project menggunakan style yang berbeda, tidak ada logo personal, dan social media tidak menarik.
Pak Eko adalah fotografer wedding yang sudah 4 tahun. Karyanya bagus, tapi brand-nya tidak jelas. Tidak ada logo yang konsisten, warna berbeda-beda, dan tidak ada video promosi. Booking hanya 2-3 per bulan.
Ibu Fitri punya toko online perhiasan yang sudah 2 tahun. Produknya berkualitas, tapi brand-nya tidak premium. Logo sederhana, warna tidak konsisten, dan kemasan tidak menarik. Penjualan stagnan di Rp 5 juta per bulan.
Marketplace lokal yang baru launch 6 bulan lalu. Masalahnya? User tidak percaya marketplace baru tanpa brand identity yang jelas. User registration hanya 50 user per bulan, sangat rendah untuk marketplace.
Ibu Gita punya klinik kecantikan yang baru buka 8 bulan lalu. Masalahnya? Brand-nya tidak jelas, tidak ada logo yang konsisten, dan social media tidak menarik. Pasien baru hanya 10-15 per bulan.
Pak Hadi punya studio fitness yang baru buka 1 tahun lalu. Masalahnya? Brand-nya tidak energetic, logo sederhana, dan tidak ada video promosi. Member hanya 30 orang, padahal kapasitas studio bisa 100 orang.
Sekolah swasta yang sudah berjalan 3 tahun. Masalahnya? Brand-nya tidak profesional, logo tidak konsisten, dan tidak ada konten yang informatif. Pendaftaran siswa baru hanya 50 siswa per tahun, padahal kapasitas sekolah bisa 200 siswa.
Chef Indra punya restoran fusion yang baru buka 6 bulan lalu. Masalahnya? Brand-nya tidak unik, logo biasa-biasa saja, dan tidak ada video promosi. Pelanggan hanya 20-30 per hari, padahal kapasitas restoran bisa 100 orang.
Ibu Jihan punya toko mainan anak yang sudah 2 tahun. Masalahnya? Brand-nya tidak fun, logo tidak menarik untuk anak-anak, dan social media tidak konsisten. Penjualan stagnan di Rp 3 juta per bulan.
Pak Kurnia punya event organizer yang sudah 3 tahun. Masalahnya? Brand-nya tidak elegan, logo tidak profesional, dan tidak ada video promosi. Klien hanya 5-8 per bulan, padahal kapasitas tim bisa handle 15 event per bulan.
Startup agritech yang baru launch 8 bulan lalu. Masalahnya? Brand-nya tidak mencerminkan nilai sustainability, logo tidak hijau, dan tidak ada konten yang informatif. User acquisition hanya 20 user per bulan, sangat rendah untuk startup.
PT Logistik Indonesia adalah perusahaan logistik yang sudah 4 tahun. Masalahnya? Brand-nya tidak profesional, logo tidak konsisten, dan kartu nama tidak menarik. Klien hanya 15-20 per tahun, padahal kapasitas operasional bisa handle 30 klien per tahun.
Co-working space yang baru buka 10 bulan lalu. Masalahnya? Brand-nya tidak modern, logo kuno, dan social media tidak konsisten. Member hanya 25 orang, padahal kapasitas co-working space bisa 80 orang.
SaaS startup yang baru launch 1 tahun lalu. Masalahnya? Brand-nya tidak mencerminkan teknologi, logo tidak modern, dan tidak ada video promosi. User acquisition hanya 30 user per bulan, sangat rendah untuk SaaS.
Ibu Lina punya salon kecantikan yang sudah 3 tahun. Masalahnya? Brand-nya tidak glamorous, logo tidak menarik, dan social media tidak konsisten. Customer hanya 40-50 per bulan, padahal kapasitas salon bisa 100 customer per bulan.